Widya Astin Angkat Bicara, Kelangkaan Pupuk Hingga Konflik Agraria

 

Catatan Akhir Tahun SPI Banyuasin

Banyuasin Rj online news.com, – Akhir Desember 2021, Serikat Petani Indonesia (SPI) Banyuasin memberikan sejumlah atensinya terhadap beberapa permasalahan pertanian di Banyuasin. Hal tersebut berkaitan dengan kelangkaan pupuk yang masih terjadi hingga menjelang awal tahun 2022. Kejadian ini berlangsung secara berkelanjutan dari bulan febuari 2020 hingga akhir desember 2020.

Ketua SPI Banyuasin, Widia Astin, S.Sos mengatakan pihaknya mencatat kasus kelangkaan pupuk terjadi dibeberapa Kecamatan kecamatan di Banyuasin. Seperti di kecamatan Muara Sugihan Banyuasin, tercatat kelangkaan pupuk
terjadi akibat kenaikan harga pupuk yang mempengaruhi penyaluran pupuk subsidi tidak merata, dan tidak adanya kartu tani yang seharusnya memudahkan petani mendapatkan pupuk. Pemerintah menampik hal ini dikarenakan pengurangan alokasi pupuk, namun adanya penambahan alokasi pupuk oleh Kementan di tahun 2021 pada alokasi pupuk bersubsidi tahun 2021 menjadi 9 juta ton plus 1,5 juta liter pupuk organik cair dari alokasi 2020 sekitar 8,9 juta ton.

“Padahal yang terjadi menurut catatan SPI adalah sistem pendistribusian pupuk yang tidak benar, sehingga memaksakan terjadinya “human error”, mengakibatkan langkanya pupuk subsidi dan peningkatan harga pupuk non subsidi hingga 100%. Kurangnya sosialisasi dan informasi yang merata serta solusi untuk menghadapi persoalan pupuk yang semakin menyakitkan petani,” ujarnya.

Dikatakan Widia, pada bulan Maret 2021, cacatan SPI Banyuasin mengenai anjloknya harga gabah hingga ke level terendah 3.300-3.500 akibat dari adanya kebijakan impor beras oleh pemerintah. Kenyataan dilapangan yang terjadi adalah praktik ijon berkembang subur di desa setiap menjelang musim panen tiba.

“Kurangnya penyerapan gabah oleh pemerintah kabupaten menyebabkan petani terpaksa menjual gabahnya dengan harga murah untuk menutupi biaya produksi padi
yang dikatakan belum dapat untung malah
merugi harus menghadapi musim tanam berikutnya. Sistem “Yarnen” yang
tumbuh subur membuat petani tidak dapat berbuat banyak selain menyerahkan padinya dengan harga murah,” katanya.

Tidak ada jaminan pemerintah untuk menampung hasil gabah yang melimpah di
Banyuasin adalah bentuk ketimpangan yang nyata dan berlangsung hingga akhir 2021.

Tidak adanya jaminan gagal panen juga terjadi pada pertanian kecil di kabupaten. Petani diimingi asuransi gagal panen oleh pemilik jasa asuransi yang bekerja sama dengan pemerintah untuk menarik premi murah setiap hektar lahan petani, namun yang terjadi sulitnya mengklaim premi yang
sudah dibayarkan untuk dicairkan ketika terjadinya gagal panen.

Perkebunan Lain hal mengenai Ketimpangan Reforma Agraria di kabupaten Banyuasin pada konflik agraria yang
terjadi masih berlangsung dan tidak ada penyelesaian yang serius oleh pemerintah Kabupaten Banyuasin.

Penetapan tapal batas antar warga desa seperti yang terjadi di Desa Air Solok Batu-Air Saleh, Penguasaan lahan oleh korporasi di desa Gilirang serta persoalan HGU perusahaaan di Desa Rantau Harapan.

Dalam catatan SPI selain konflik tersebut telah terjadi konflik juga antara Badan Penelitian dan masyarakat desa Tanjung Menang, Rantau Bayur seluas 2000ha dan Konflik antara PT.TBL (Tunas Baru Lampung) dan masyarakat Desa Rimba Jaya, Mariana seluas 150ha, Konflik
dikuasai perusahaan secara sepihak.

yang terjadi masih pada konsesi/izin HGU, Pemukiman, ladang atau tanaman pangan yang masih Pentingnya peta lahan pangan pertanian yang berkelanjutan yang datanya tidak pernah transparan mengakibatkan penguasaan lahan pertanian yang seharusnya menjadi sawah abadi tetapi terjadi pergeseran fungsi menjadi lahan perkebunan. Mengakibatkan konflik antara masyarakat desa dari perusahaan sering terjadi.

Pada persoalan Koperasi, SPI mencatat kementerian Pertanian menggelontorkan dana 1507 pada tahun 2020 untuk diberikan sebagai bantuan kepada petani melalui KUR, kendalanya sulitnya administrasi dan kurangnya informasi kepada masyarakat desa yang menyebabkan petani sulit
mendapatkan kemudahan Koperasi adalah jalan pertumbuhan ekonomi yang dapat
mensejahterakan petani.

Tetapi bagi petani koperasi tidak cukup berdampak baik bagi kelangsungan kesejahteraan petani, dan pertumbuhan ekonomi di desa. Ini terjadi di Desa Kuala Puntian, Tanjung Lago Banyuasin.

Pemerintah kabupaten hendaknya mendukung embarkum di desa yang menonjolkan potensi budaya kearifan pangan lokal dengan memberi tempat atau wadah untuk mengembangkan potensi
ekonomi kerakyatan yang berbasis koperasi yang menguntungkan, adil dan merata bagi semua anggota dan bukan mengusung kepentingan para pemodal melalui kebijakan pemerintah yang menyuburkan korporasi saja.

Ketimpangan Reforma Agraria yang masih mewarnai daerah di kabupaten hingga detik ini masih meminggirkan kaum tani. Dimana korporasi masih mendominasi pertanian di Banyuasin melalui kebijakan yang tidak memihak petani kecil.

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan, SPI mencatat selama tahun 2021, terjadi sekurang-kurangnya terjadi 104 kasus konflik agraria di berbagai wilayah
Indonesia. Konflik agraria tersebut mengakibatkan 8 orang meninggal dunia, 62 orang mengalami luka-luka maupun cedera fisik, dan 119 kasus kriminalisasi maupun pemanggilan.

“Dari data tersebut, SPI mencatat konflik agraria masih didominasi oleh sektor perkebunan (46 kasus), diikuti oleh
pertambangan (20 kasus); kehutanan (8 kasus), pesisir (4 kasus) dan Proyek Strategis Nasional (4 kasus)
Terdapat 41 kasus di Pulau Sumatera, 18 kasus di Pulau Jawa, 11 kasus di Pulau Kalimantan, 19 kasus di Pulau Sulawesi, 7 kasus di Pulau Bali dan Nusa Tenggara, dan 8 kasus di Maluku dan Papua,”jelasnya.

Menelisik kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran adalah bentuk dari penindasan hak asasi petani. Kurangnya informasi, sulitnya mengakses lahan dan terjadinya penguasaan alat produksi seperti tanah, air, benih, sarana produksi, teknologi dan pasar, sehingga peminggiran petani
secara sosial, ekonomi, dan politik inilah yang menyebabkan proses pemiskinan petani dan rakyat kecil.

“Pemerintah kurang melibatkan organisasi-organisasi petani dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi pada petani. Adanya “Gap” antara organisasi yang memperjuangkan hak asasi
petani kecil untuk memperoleh kesejahteraan dan kesetaraan ekonomi. Dimana sejatinya persamaan kedudukan warga negara telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945. Persamaan kedudukan tercermin dalam persamaan hak dan persamaan kewajiban,”tandasnya.

Laporan:(Toto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *